Unggas berbunyi di malam yang sepi,
Membunuh keheningan malam yang menikam,
Kata-kata cinta engkau bisikkan ke telinga,
Dan aku kau ikat dengan janji,
Janji yang kau ungkapkan dengan penuh tulus,
Selamanya terpahat di dalam benak sanubari,
Maka bersumpahlah aku untuk menunggumu,
Agar kita boleh membina kehidupan,
Tidak akan aku rasa perih,
Kekal aku tunggu di atas pangkin,
Kekal aku tunggu di atas pangkin,
Untuk kau datang memetik,
Sehingga larut malam menyinggah,
bulan dan bintang menjadi peneman,
Seperti pinang dibelah dua,
Menghiasi langit yang gelap.
Aku menantimu dengan penuh yakin,
Teguh berpegang pada kata-kata dan janjimu,
Setianya aku hingga wajah ditanda usia,
Lembut tanganku yang dulu mengusap rambutmu,
Kini bertompok dan kusam dimamah usia,
Hitam dan lebatnya rambutku dulu,
Kini beruban dan menipis,
Badanku yang dulu kau puja dan sanjung,
Kini hampir menyembah bumi,
Kakiku dulu megah berdiri,
Bangga menapak di atas tanah memberi aku kudrat,
Kini aku berkaki tiga tidak lagi larat untuk berjalan.
Pangkin yang dulu tempat aku singgah,
Untuk melepas rindu dan mengeluh kesah,
Tiadanya lagi kudrat untuk aku menapak,
Kerusi malas di tepi jendela kini menjadi tujuan.
Di situlah aku termenung,
Mengingati penungguanku.
Di manakah janjimu yang dulu?
Janji manis yang kau lontar sebelum menghapuskan jejak hidupmu?
Kata-kata cinta yang kau bisikkan ke telingaku?
Kata-kata cinta yang kau bisikkan ke telingaku?
Sungguh kata-katamu itu jauh panggang dari api,
Langsung tiada belas kasihan,
Dalam benar luka yang kau tinggalkan,
Seperti dalamnya dasar lautan,
Mengacau jiwaku seperti ombak di pantai,
Yang tidak berhenti memukul batu-batuan.
Maka dengan itu aku berserah,
Tamatlah sudah penantianku,
Dengan ini nafasku berhenti.
Dengan ini nafasku berhenti.
No comments:
Post a Comment